Minggu, 23 Mei 2010

Bagaimana Membentuk Hubungan Emosional antara ibu dan anak??


Hubungan anak dengan orang tua merupakan sumber emosional dan kognitif bagi anak. Hubungan tersebut memberi kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan maupun kehidupan sosial. Hubungan anak pada masa-masa awal dapat menjadi model dalam hubungan-hubungan selanjutnya. Hubungan awal ini dimulai sejak anak terlahir ke dunia, bahkan sebetulnya sudah dimulai sejak janin berada dalam kandungan (Sutcliffe,2002). Klaus dan Kennel (dalam Bee, 1981) menyatakan bahwa masa kritis seorang bayi adalah 12 jam pertama setelah dilahirkan. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kontak yang dilakukan ibu pada satu jam pertama setelah melahirkan selama 30 menit akan memberikan pengalaman mendasar pada anak. Hal senada juga dikemukakan oleh Sosa (dalam Hadiyanti,1992) bahwa ibu yang segera didekatkan pada bayi seusai melahirkan akan menunjukkan perhatian 50% lebih besar dibandingkan ibu-ibu yang tidak melakukannya. .
Menurut teori Etologi (Berndt, 1992) tingkah laku lekat pada anak manusia diprogram secara evolusioner dan instinktif. Sebetulnya tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan pada anak namun juga pada ibu. Ibu dan anak secara biologis dipersiapkan untuk saling merespon perilaku. Bowlby (Hetherington dan Parke,1999) percaya bahwa perilaku awal sudah diprogam secara biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman, isapan akan mendatangkan reaksi ibu dan perlindungan atas kebutuhan bayi. Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak. Sebaliknya bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan (mutuality attachment).
Teori etologi juga menggunakan istilah “Psychological Bonding” yaitu hubungan atau ikatan psikologis antara ibu dan anak, yang bertahan lama sepanjang rentang hidup dan berkonotasi dengan kehidupan sosial (Bowley dalam Hadiyanti,1992).
Berdasarkan teori psikoanalisa Freud (Durkin 1995, Hetherington dan Parke,1999), manusia berkembang melewati beberapa fase yang dikenal dengan fase-fase psikoseksual. Salah satu fasenya adalah fase oral, pada fase ini sumber pengalaman anak dipusatkan pada pengalaman oral yang juga berfungsi sebagai sumber kenikmatan. Secara natural bayi mendapatkan kenikmatan tersebut dari ibu disaat bayi menghisap susu dari payudara atau mendapatkan stimulasi oral dari ibu. Proses ini menjadi sarana penyimpanan energi libido bayi dan ibu selanjutnya menjadi objek cinta pertama seorang bayi. Kelekatan bayi dimulai dengan kelekatan pada payudara ibu dan dilanjutkannya dengan kelekatan pada ibu. Penekanannya disini ditujukan pada kebutuhan dan perasaan yang difokuskan pada interaksi ibu dan anak
Selanjutnya Erickson (Durkin, 1995) berusaha menjelaskannya melalui fase terbentuknya kepercayaan dasar (basic trust). Ibu dalam hal ini digambarkan sebagai figur sentral yang dapat membantu bayi mencapai kepercayaan dasar tersebut. Hal tersebut dikarenakan ibu berperan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan bayi, menjadi sumber bergantung pemenuhan kebutuhan nutrisi serta sumber kenyamanan. Pengalaman oral dianggap Erickson sebagai prototip proses memberi dan menerima (giving and taking).
Hubungan emosional antara ibu dan anak dikatakan dapat terbentuk sejak bayi berada dalam kandungan. Hubungan emosional dapat kita kaitkan dengan kelekatan antara ibu an anak. Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertamakalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969 (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Lalu Bagaimana komunikasi/interaksi antara ibu dan bayi yang masih ada dalam janin dapat terjalin??
Sebagaimana kita fahami bahwa komunikasi ialah suatu proses penyampaian pesan atau informasi dari komunikator kepada komunikate yang mempunyai umpan balik (Burgon & Huffner, 2002). Proses komunikasi tidak hanya memfungsikan kita sebagai komunikator secara aktif tetapi juga sebagai komunikate yang dapat menerima pesan atau informasi tersebut. Kalau kita bertindak sebagai komunikate secara pasif tentunya kemampuan komunikasi tersebut sudah dapat kita lakukan pada saat kita masih di dalam kandungan (pre-natal).
Pemahaman kita terhadap identitas orang tua kita bahwa sejak pre-natal kita sudah mempunyai kemampuan komunikasi pasif dalam alam kandungan bahwa itu ayah kita atau itu ibunda kita melalui suara. Inilah kebesaran Tuhan yang harus kita fahami sebagai mahluk yang mempunyai kemampuan berfikir.
Hal tersebut berkaitan tentang Teori Neurobiologis. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa secara faali, manusia mempunyai proses biologis yang mempengaruhi proses komunikasi manusia. Proses itu melibatkan proses yang terjadi di syaraf-syaraf manusia (neuron). Syaraf manusia terdiri dari dendrit, soma dan axon. Dendrit berfungsi sebagai penerima perintah dari otak untuk menyampaikan informasi (transmitter). Kemudian dendrite akan meneruskan perintah kepada soma yang diterimanya namun masih secara mentah (receiver). Selanjutnya informasi ini akan diterjemahkan dan ditanggapi oleh axon sebagai inti syaraf (decoder).
Disamping itu, Richard Dawkins (1976) mempunyai penelitian tentang proses transformasi kultural yang dilakukan oleh daya kognitif kita yang ditentukan oleh memes. Memes inilah yang mempengaruhi DNA manusia sehingga mempunyai sifat-sifat tertentu dalam kepribadiannya. Bahkan kadang kala memes ini berfungsi sebagai kontak radar untuk menentukan evaluasi (dalam proses komunikasi intrapersonal) terhadap orang lain. Kesimpulannya ialah bahwa kita sudah dapat memulai mempunyai kemampuan komunikasi sejak pre-natal meskipun hanya sebagai komunikate secara pasif saja.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dapat membangun hubungan emosional antara ibu dan anak adalah kelekatan (attachment). Kelekatan itu sendiri dapa terbangun melalui komunikasi verbal dan non verbal antara ibu dan anak. Bahkan sejak dalam kandungan, ibu dapat membangun kelekatan dengan anak melalui proses komunikasi pasif. Teori Biologis yang telah dijelaskan di atas menjawab mengapa hubungan antara ibu dan anak dapat terjalin sejak pre-natal, yaitu karena sebenarnya komunikasi antara ibu dan anak sudah dimulai sejak pre natal. Semakin dini komunikasi antara ibu dan anak terjalin, pada nantinya semakin baik pula perkembangan hubungan emosional antara ibu dan anak tersebut. Oleh karena itu Ajaklah bayi anda berkomunikasi sejak ada dalam kandungan...!!

Komunikasi dengan Tuhan, termasuk komunikasi interpersonal ataukah Intrapersonal??




Menurut filusuf terkenal yang bernama Aristotle, bertanya sesungguhnya ialah proses berfikir karena dengan bertanya tentunya kita mempunyai keinginan untuk mengetahui jawabannya. Oleh karena itu, Aristotle menyatakan bahwa asking is thinking. Oleh karena itu, memulai sebuah pemerhatian kita terhadap suatu fenonema, dalam hal ini fenomena psikologi komunikasi, maka alangkah baiknya kalau kita memulai dengan suatu pertanyaan. Pada pendahuluan bab ini maka pertanyaannya ialah;
“Pernahkan sepanjang hidup Anda, tidak berkomunikasi sehari saja?”
Beberapa dari Anda akan menjawab bahwa Anda pernah tidak berkomunikasi saat tidur, atau Anda pernah tidak berkomunikasi saat merenung, Anda pernah tidak berkomunikasi saat sendiri, Anda pernah tidak berkomunikasi saat berdoa atau beribadah. Jawaban-jawaban tersebut tidaklah salah karena pemaknaan komunikasi Anda belum diperluas. Selain itu, pendapat para pakar komunikasi pun juga terbelenggu pada satu perspektif, yaitu perspektif orang lain (others / social). Sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa pakar ini yang dimuat dalam Burgon & Huffner (2002);
a. Hovland, Janis and Kelly state that communication is the process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal) to modify the behavior of other individual (the audience).
Berdasarkan pernyataan mereka maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus/ rangsangan (biasanya dalam bentuk verbal) untuk memodifikasi perilaku orang lain (audience/ komunikate). Dengan demikian, proses komunikasi memerlukan rangsang untuk disampaikan dan memerlukan orang lain sebagai penerima rangsang tersebut. Dalam pemaknaan ini komunikasi lebih mengarah kepada bentuk verbal atau penggunaan simbol bahasa.
b. Whereas, Ross state that communication is a transactional process involving cognitive sorting, selecting, and sharing of symbol in such a way as to help another elicit from their own experiences a meaning or responses similar to that intended by the source.
Merujuk pendapat beliau, komunikasi merupakan proses transaksional antara satu orang dengan orang lain yang meliputi proses urutan kognitif, seleksi informasi dan penyampaian simbol berdasarkan pengalaman mereka sendiri sebagai suatu pemaknaan atau respon yang sama dengan pemaknaan dari sumbernya. Dengan demikian, pemaknaan ini lebih mengarah kepada proses dalam diri manusia (komunikator) yang lebih pada ranah kognitif dan pada orang lain yang menyamakan dengan pengalaman dari sumber (komunikator). Proses penyamaan ini yang nanti akan dibahas pada bab selanjutnya, yaitu tentang derajad homophily.
c. Atau pendapat lain dari Beamer & Varner (2008) dalam Communication Studies Journal bahwa komunikasi ialah suatu proses penyampaian pendapat, pikiran dan perasaan kepada orang lain yang kemampuannya dipengaruhi oleh lingkungan atau budaya sosialnya. Jelas bahwa lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap proses komunikasi seseorang.

Ketiga pendapat tersebut mengarahkan semua pemaknaan komunikasi sebagai sebuah proses yang memerlukan orang lain (others / social). Oleh karena itu, Burgon & Huffner (2002) dalam bukunya Human Communication menjelaskan bahwa komunikasi ialah sebuah proses pemikiran berupa seleksi informasi (kognitif), menilai atau mempersepsikan pengalaman (afektif) dan bertindak balas terhadap informasi yang disampaikan tersebut (psikomotorik). Proses komunikasi ini dapat dilakukan dalam diri manusia sendiri, orang lain dan kumpulan manusia dalam proses sosial (massa). Merujuk pendapat tersebut maka Burgon & Huffner (2002) mengkategorikan 3 jenis komunikasi, yaitu;
a. Komunikasi intrapersonal; komunikasi yang terjadi dalam diri sendiri maka tindak balas yang dilakukan ialah dalam internal diri sendiri. Contoh, komunikasi yang terjadi saat kita merenung, berdialog dengan diri sendiri (baik sadar maupun secara tidak sadar, misalnya sedang tidur).
b. Komunikasi interpersonal; komunikasi yang dilakukan dengan orang lain sehingga tindak balas dan evaluasinya memerlukan orang lain. Contoh, komunikasi dengan pacar, teman, dosen, orang tua dan lain sebagainya.
c. Komunikasi massa; komunikasi yang dilakukan dalam kumpulan manusia yang terjadi proses sosial di dalamnya, baik melalui media atau langsung dan bersifat one way communication. Contoh, komunikasi yang terjadi di televisi, web-site, blog, iklan dan lain sebagainya. Pembahasan komunikasi massa akan didiskusikan pada bab-bab selanjutnya.
Yang membuat saya tertarik pada materi ini adalah, ,mengenai beberapa jenis komunikasi. Dijelaskan bahwa terdapat 3 jenis komunikasi, yaitu komunkasi interpersonal, intrapersonal, dan komunikasi massa. Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi komunikasi yang terjadi dalam diri sendiri, komunikasi intrapersonal merupakan komunikasi yang dilakukan dengan orang lain (di luar diri kita), sedangkan komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan oleh sekumpulan orang dan terjadi proses sosial di dalamnya.
Kita sebagai manusia yang beragama, pasti memiliki satu kepercayaan akan keberadaan Tuhan. Dan hal tersebut membuat kita kerap kali melakukan komunikasi dengan Tuhan, kegiatan tersebut mungkin lebih familiar dengan istilah Berdoa. Pertanyaannya disini adalah Komunikasi yang kita lakukan dengan Tuhan, termasuk ke dalam jenis komunikasi yang mana?
Saat kita berdoa atau melakukan interaksi lainnya dengan Tuhan, kita seperti berbicara dengan diri sendiri. Saat kita mengajakNya berkomunikasi, kita tidak mendapatkan feedback secara langsung. Dari situasi seperti demikian, sangat mudah kita menggolongkan, bahwa komunikasi dengan Tuhan merupakan salah satu jenis komunikasi interpersonal. Namun Bila kita mencoba telaah lagi, dan mencoba mengingat bagaimana proses kita berkomunikasi secara interpersonal, kita tidak tepat menggolongkan komunikasi yang kita lakukan dengan Tuhan ke dalam Komunikasi interpersonal.
Memang benar saat kita berkomunikasi dengan Tuhan, kita seperti berbicara kepada diri sendiri, namun perlu yang perlu digarisbawahi disini adalah kita tidak menyampaikan informasi kepada diri kita sendiri. Pada saat berkomunikasi dengan Tuhan, diri kita berperan sebagai komunikator, dan Tuhan berperan sebagai Komunikate. Dari hakikatnya, dijelaskan bahwa komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang dilakukan dengan orang lain sehingga tindak balas dan evaluasinya memerlukan orang lain. Dalam hal ini Tuhan bisa kita posisikan sebagai orang lain. Dari situ, sekarang kita dapat menggolongkan komunikasi dengan Tuhan ke dalam jenis komunikasi intra personal. Namun, apakah saat kita berkomunikasi dengan Tuhan, kita mendapatkan evaluasi dan tindak balas dari komunikate?
Hal ini pernah menjadi perdebatan dalam satu mata kuliah saya. Dalam perdebatan tersebut, muncul beberapa pendapat. Ada beberapa orang yang menganggap bahwa komunikasi dengan Tuhan adalah komunikasi interpersonal, dengan alasan saat kita berkomunikasi dengan Tuhan, kita sebenarnya berbicara dengan diri sendiri, dan pada saat itu kita tidak mendapatkan feedback secara langsung, dan kita tidak benar-benar mengetahui keberadaan komunkate kita, kita tidak mengetahui apakah informasi yang kita berikan sampai atau tidak kepada komunikate. Saat kita berkomunikasi dengan Tuhan, sangat identik dengan saat kita berkomunikasi dengan diri kita. Dan ada beberapa orang yang menganggap bahwa Tuhan itu ada dimana-mana, termasuk di dalam diri kita. Jadi disaat kita ingin berkomunikasi dengan Tuhan kita cukup berkomunikasi dengan diri kita sendiri, namun hal tersebut bukan berarti diri kita adalah Tuhan. Namun dalam artian diri kita disini hanya sebagai fasilitas untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Namun di lain pihak, ada beberapa orang pula yang berpendapat bahwa Komnikasi dengan Tuhan merupakan suatu proses komunikasi yang terjadi secara intrapersonal. Kenapa intrapersonal? Karena kita berkomunikasi dengan pihak lain, kita mungkin terkesan seperti berbicara sendiri dan menyampaikan stimulus pada diri sendiri, tapi stimulus atau informasi yang kita keluarkan itu bukan untuk diri kita sendiri, tapi untuk Tuhan. Tuhan memang tidak pernah kita ketahui bentuk dan wujudnya, namun kita percaya Tuhan itu ada. Tuhan tidak sama dengan makhluk ciptaannya, jadi tidak boleh kita samakan cara memberikan feedback antara komunikasi yang kita lakukan dengan sesama makhluk Tuhan dan dengan Tuhan itu sendiri. Tuhan memberikan feedback dengan cara-cara yang mungkin tidak bisa kita terima dengan logika. Tuhan memberikan balasan bukan dengan bahasa atau gerak tubuh seperti yang kita lakukan saat berkomunikasi dengan orang lain. Tuhan memberikan feedback melalui peristiwa-peristiwa dalam hidup kita.
Pada akhirnya saya tidak bisa memnyimpulkan apakah komunikasi dengan Tuhan termasuk ke dalam jenis komunikasi interpersonal ataukah jenis komunikasi intrapersonal. Teori yang ada sebenarnya hanya ingin memudahkan kita untuk memahami suatu hal. Namun yang perlu kita ketahui, tidak semua teori dapat menjawab kenyataan atau fenomena-fenomena yang terjadi dalam hidup kita. Disaat teori tidak mampu membantu kita utnuk memecahkan suatu masalah, hal yang dapat kita andalkan adalah akal kita. Karena Tuhan menciptakan makhluk paling sempurna melalui akalnya. Termasuk ke dalam jenis komunikasi apapun, satu hal yang harusnya membuat kita memiliki satu paham adalah, Tuhan itu ada. Ketika kita berkomunikasi dengan Tuhan, Tuhan berperan sebagai komunikate. Tuhan Maha Tahu, Tuhan Maha mendengar, dan Tuhan Maha Melihat. Saat kita berbicara dalam hatipun Tuhan dapat mendengarkan, Saat kita tidak berkomunikasi dengan otrang lain pun, Tuhan dapat mendengar, apalagi bila kita benar-benar bicara kepada Tuhan??
Jadi,sekarang, terserah pemikiran anda sendiri komunikasi dengan Tuhan itu termasuk ke dalam Jenis komunikasi interpersonal atau intrapersonal??